Jumat, 04 Oktober 2013

All About Psychology

Selamat datang di blog saya :)
Blog ini berisi mengenai materi-materi pembelajaran psikologi S1.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Persepsi dan Atribusi Sosial


Persepsi Sosial 









A. Pengertian dan Proses Persepsi Sosial

Persepsi merupakan suatu proses yang diawali dengan penginderaan. Penginderaan merupakan suatu proses ketika seseorang menerima suatu stimulus melalui alat penerima (alat indera). Namun proses tersebut masih berlanjut, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Oleh karena itu, proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca, 1964; Woodworth dan Marquis, 1957).

Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi stimulus diterima alat indera, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan (Davidoff, 1981). Disamping itu menurut Maskowitz dan Orgel (1969), persepsi itu merupakan proses yang intergrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima melalui alat indera oleh individu, dan merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena merupakan aktifitas yang integrated, maka seluruh pribadi dan seluruh yang ada dalam diri individu ikut berperan aktif dalam persepsi tersebut. Persepsi dan maksud yang tersirat di dalamnya dapat diamati seperti yang dinyatakan oleh Pareek (Juhariah, 2007:13). Proses persepsi melalui beberapa tahapan yang rumit dan kompleks. Proses persepsi dikatakan rumit karena antar pesan saling tumpang tindih dan berbenturan. Proses persepsi disebut kompleks karena pesan-pesan yang beragam dan berbaur serta berkaitan. DeVito (1997:75-76) menyederhanakan tiga tahap proses persepi, yaitu terjadinya stimulasi alat indera (alat-alat indera dirangsang); kemudian stimulasi alat indera diatur (rangsangan terhadap alat indera diatur menurut beberapa prinsip, antara lain prinsip kemiripan atau proximity); dan stimulasi alat indera dievaluasi ditafsirkan (proses perseptual atau proses subyektif yang melibatkan evaluasi di pihak si penerima).

Persepsi adalah proses menerima, menyeleksi, memberi reaksi pada rangsangan panca indera. Persepsi merupakan tanggapan atas objek, atau peristiwa yang dapat dimaknai dan diungkapkan menjadi hal berbeda. Syarat terbentuknya persepsi mencakup adanya obyek, perseptor, proses persepsi, dan wujud persepsi. Oleh sebab itu Rakhmat (2003:51) menyatakan bahwa, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. 

Padahal kuantitas obyek yang dipersepsi sangat banyak, sehingga perseptor memiliki hak memilah dan menentukan yang perlu direspon dan dimaknai. Hal ini sesuai pendapat DeVito (1997:75), persepsi adalah proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Jadi persepsi merupakan proses penetapan stimulus yang memengaruhi indera manusia sehingga dapat memberikan makna atau kesan. 

Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang dialami dalam lingkungan kita. Persepsi manusia terhadap seseorang objek, atau kejadian dan reaksi mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman (dan pembelajaran) masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek, atau kejadian serupa (Mulyana, 2005:175-176). Persepsi sosial adalah proses yang dialami seseorang untuk mengetahui dan memahami orang-orang lain (Baron & Byrne, 1997) 

Sarwono (2002) juga menjelaskan bahwa individu dapat mempunyai persepsi sosial yang sama dan juga ada kemungkinan mempunyai persepsi sosial yang berbeda tentang stimulus yang ada dilingkungannya. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh sosial budaya dari lingkungan individu, objek yang dipersepsi, motiv individu, dan kepribadian individu. Lebih jauh, sarwono (2002) menambahkan bahwa persepsi sosial juga sangat tergantung pada komunikasi. Artinya, bagaimana komunikasi yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya akan mempengaruhi persepsi diantara keduanya. Komunikasi disini menurut Sarwono (2002) bukan hanya sebatas komunikasi verbal melainkan juga komunikasi non-verbal yang terjadi antara keduanya, seperti gerak tubuh, ekspresi wajah dan lain sebagainya. 

Selanjutnya, persepsi sosial juga dianggap sebagai bagian dari kognisi sosial, yaitu pembentukan kesan-kesan tentang karakteristik-karakteristik orang lain. Kesan yang diperoleh tentang orang lain tersebut biasanya didasarkan pada tiga dimensi persepsi, yaitu : 
1. Dimensi evaluasi yaitu penilaian untuk memutuskan sifat baik buruk, disukai-tidak disukai, positif-negatif pada orang lain. 
2. Dimensi potensi yaitu kualitas dari orang sebagai stimulus yang diamati (kuat-lemah, sering-jarang, jelas-tidak jelas). 
3. Dimensi aktivitas yaitu sifat aktif atau pasifnya orang sebagai stimulus yang diamati. 

Berdasarkan tiga dimensi tersebut, maka persepsi sosial didasarkan pada dimensi evaluatif, yaitu untuk menilai orang. Penilaian ini akan menjadi penentu untuk berinteraksi dengan orang selanjutnya. Artinya, persepsi sosial timbul karena adanya kebutuhan untuk mengerti dan meramalkan orang lain. Maka dalam persepsi sosial tercakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu : 
1. Aksi orang lain, yaitu tindakan individu yang berdasarkan pemahaman tentang orang lain yang dinamis, aktif dan independen. 
2. Reaksi orang lain, merupakan aksi individu menghasilkan reaksi dari individu, karena aksi individu dan orang lain tidak terpisah. Pemahaman individu dan cara pendekatannya terhadap orang lain mempengaruhi perilaku orang lain itu sehingga timbul reaksi. 
3. Interaksi dengan orang lain, yaitu reaksi dari orang lain mempengaruhi reaksi balik yang akan muncul. Dalam usaha menginterpretasi orang lain sering digunakan dimensi-dimensi tertentu. 

Wrightman (1981) mengemukakan ada 6 dimensi pokok, yaitu : 
1. Dapat dipercaya – tidak dapat dipercaya  
2. Rasional – tidak rasional 
3. Altruis – orientasi diri (selfness) 
4. Independen – conform dengan kelompok 
5. Variatif – kesamaan 
6. Kompleksitas – kesederhanaan 

Brems & Kassin (dalam Lestari, 1999) mengatakan bahwa persepsi sosial memiliki beberapa elemen, yaitu: a. Person, yaitu orang yang menilai orang lain. 
b. Situasional, urutan kejadian yang terbentuk berdasarkan pengalaman orang untuk menilai sesuatu. 
c. Behavior, yaitu sesuatu yang dilakukan oleh orang lain. 

Ada dua pandangan mengenai proses persepsi, yaitu : 
1. Persepsi sosial, berlangsung cepat dan otomatis tanpa banyak pertimbangan orang membuat kesimpulan tentang orang lain dengan cepatberdasarkan penampilan fisik dan perhatian sekilas. 
2. Persepsi sosial, adalah sebuah proses yang kompleks,orang mengamati perilaku orang lain dengan teliti hingga di peroleh analisis secara lengkap terhadap person, situasional, dan behaviour. 

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi suatu proses aktif timbulnya kesadaran dengan segera terhadap suatu obyek yang merupakan faktor internal serta eksternal individu meliputi keberadaan objek, kejadian dan orang lain melalui pemberian nilai terhadapobjek tersebut. Sejumlah informasi dari luar mungkin tidak disadari, dihilangkan atau disalahartikan. Mekanisme penginderaan manusia yang kurang sempurna merupakan salah satu sumber kesalahan persepsi (Bartol & Bartol,1994). 

B. Sifat-Sifat Persepsi

Persepsi bersifat dugaan karena merupakan loncatan langsung pada kesimpulan, karena data yang kita peroleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah utuh. 
Persepsi bersifat evaluatif karena mencakup unsur seleksi dan penilaian dalam merespon stimulasi. 
Persepsi bersifat kontekstual berarti koteks dalam mempersepsi stimulan sangat berpengaruh. 

C. Persepsi menurut Psikologi Lingkungan 

Penjelasan mengenai bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungan dapat didasarkan pada dua cara pendekatan. Pendekatan yang pertama yaitu pandangan konvensional. Pendekatan inidiawali dari adanyan rangsang dari luar diri individu atau yang disebut sebagai stimulus, kemudian individu tersebut menjadi sadar akan adanya ransang ini melalui penginderaannya yang merupakan sel-sel saraf reseptor yang peka terhadap bentuk-bentuk energi tertentu, misalnya cahaya, suara, suhu dan lain-lain. Apabila sumber energi tersebut cukup kuat untuk merangsang sel-sel reseptor maka terjadilah penginderaan. Jika sejumlah penginderaan disatukan dan dikoordinasikan di dalam otak, yang merupakan pusat syaraf yang lebih tinggi, sehingga manusia dapat mengenali dan menilai objek-objek maka keadaan ini dinamakan persepsi. 

Secara umum, pandangan konvensional ini menganggap persepsi sebagai kumpulan penginderaan (sensation). Jadi semisal kita melihat sebuah benda terbuat dari kayu, berkaki empat maka kumpulan penginderaan itu akan diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga kita bisa mengenali benda tersebut misalnya sebagai meja. Cara pandangan yang seperti ini juga dikenal sebagai pendekatan konstruktivisme. Namun demekian, aktivitas mengenali objek atau benda itu sendiri adalah aktivitas mental, yang disebut juga sebagai aktivitas kognisi. Jadi sebetulntya otak tidak secara pasif menggabung-gabungkan kumulasi atau tumpukan pengalaman dan memori, melainkan aktif untuk menilai, memberi makna dan sebagainya. Dikarenakan adanya fungsi aktif dari kesadarn manusia, pandangan konvensional ini kadang-kadang juga digolongkan pada pandangan fungsionalisme. 

Pendekatan yang ke dua adalah pendekatan ekologik. Pendekatan ini dikemukakan oleh Gibson (Fisher et al, 1984 : 24). Menurut Gibson, individu tidaklah menciptakan makna-makna dari apa yang diinderakannya karena sesungguhnya makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk organisme yang siap menyerapnya. Ia berpendapat bahwa persepsi terjadi secara spontan dan langsung. Jadi, bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi karena organisme selalu mengeksplorasi lingkungannya dan dalam penjajakan itu ia melibatkan setiap objek yang ada di lingkungannyadan setiap objek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk organisme bersangkutan. Sebuah pohon misalnya, tampil dengan sifat-sifatnya yang berdaun rindang dan berbatang besar maka sifat-sifat ini menampilkan makna bagi manusia sebagai tempat berteduh. Sifat-sifat yang menampilkan makna tersebut oleh Gibson dinamakan affordances (afford = memberikan, menghasilkan, bermanfaat). Affordances atau kemanfaatan dari setiap objek adalah khas untuk setiap jenis makhluk walau pun kadang juga ada tumpang-tindihnya. Misalnya pohon rindang yang memberikan sifat keteduhan bagi manusia, mungkin memberikan sifat lain untuk spesies lainnya, seperti burung, semut, atau anjing. Dengan kata lain, menurut Gibson, objek-objek atau stimuli itu sendiri pun aktif beerinteraksi dengan makhluk yang mengindera sehingga akhirnya timbullah makna-makna spontan itu. Dalam pendekatan konvensional, persepsi masih selalu dikaitkan dengan faktor-faktor syaraf dan faal saja. Sedangkan dalam pendekatan ekologik interpretasi terhadap hasil proses faal inilah yang alhirnya menentukan persepsi, bukan proses faal itu sendiri. 

D. Faktor-faktor yang Mampengaruhi Persepsi 

Ada dua macam faktor yang mempengaruhi persepsi, yang pertama adalah faktor internal dan yang ke dua adalah faktor eksternal. 

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa apa yang ada dalam diri individu akan mempengaruhi individu dalam mengadakan persepsi, ini merupakan faktor internal. Di samping itu masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi dalam proses persepsi, yaitu faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung dan ini merupakan faktor eksternal. Stimulus dan lingkungan sebagai faktor eksternal dan individu sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi. 

Agar stimulus dapat dipersepsi, maka stimulus harus cukup kuat, stimulus harus melampaui ambang stimulus, yaitu kekuatan stimulus yang minimal tetapi dapat menimbulkan kesadaran, sudah dapat dipersepsikan oleh individu. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh dalam persepsi. Stimulus yang kurang jelas, akan berpengaruh dalam ketetapan persepsi. Bila stimulus itu berwujud benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi, karena benda-benda yang dipersepsi tersebut tidak ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. Hal tersebut akan berbeda bila yang dipersepsi itu manusia. Walaupun stimulus personnya sama, tetapi kalau situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person berbeda, akan berbeda hasil persepsinya (Tagiuri dan petrullo, 1958). 

Mengenai keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi datang dari dua sumber, yaitu yang berhubungan dengan segi kejasmanian, dan yang berhubungan dengan segi psikologis. Bila sistim fisiologinya tergangggu, hal tersebut akan berpengaruh dalam persepsi seseorang. Sedangkan segi psikologis seperti telah dipaparkan di depan. yaitu antara lain mengenai pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, kerangka acuan, motivasi akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi. Sedangkan lingkungan atau situasi yang melatar-belakangi stimulus juga akan berpengaruh dalam persepsi, lebih-Iebih bila objek merupakan kebulatan atau kesatuan yang sulit dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda, dapat menghasilkan persepsi yang berbeda. Bila objek persepsi berwujud benda-benda disebut persepsi benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan bila objek persepsi berwujudmanusia atau orang disebut persepsi sosial atau social perception (Heider. 1958). Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain : 
1. Objek yang dipersepsi 
 2. Alat indera, termasuk syaraf dan pusat susunan syaraf. 
 3. Perhatian. 

E. Bias dalam Persepsi Sosial 

Ada beberapa bias atau kesesatan dalam persepsi sosial, antara lain yaitu: 
1. Hallo Effect 
Merupakan kecenderung untuk mempersepsi orang secara konsisten. Hallo effect ini secara umum terjadi karena individu hanya mendasarkan persepsinya hanya pada kesan fisik atau karakteristik lain yang bisa diamati. 

2. Forked Tail Effect (negative hallo) 
Merupakan lawan dari hallo effect, yaitu melebih-lebihkan kejelekan orang hanya berdasarkan satu keadaan yang dinilai buruk. 

F. Jenis-Jenis Persepsi Sosial 
1. Persepsi tentang orang (person perception) 
2. Persepsi tentang hubungan antar pribadi (interpersonal perception) 


Atribusi Sosial

A. Pengertian Atribusi Sosial 

Atribusi sosial adalah suatu proses dimana seseorang mengidentifikasi penyebab dari tingkah laku orang lain, dan kemudian memperoleh pengetahuan mengenai trait-trait yang stabil mau pun faktor disposisi sebagai penyebab munculnya tingkah laku tersebut. Atribusi kausal adalah proses yang menjelaskan terjadinya suatu kejadian atau proses menarik kesimpulan mengenai penyebab-penyebab dari suatu peristiwa. 

B. Teori – Teori Atribusi

Sarlito (1997) menjelaskan adanya beberapa teori yang berkaitan dengan atribusi. 
1. Corespondance Inference (Penyimpulan Terkait) 
Menurut teori yang berfokus pada target ini, perilaku orang lain merupakan sumber informasi yang kaya. Jadi kalau kita mengamati perilaku orang lain dengan cermat, maka kita dapat mengambil berbagai kesimpulan. 

2. Concious Attentional Resources (Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran) 
Teori ini menekankan pada proses yang terjadi dalam kognisi orang yang melakukan persepsi (pengamat). Gilbert, dkk. (1988) mengemukakan bahwa atribusi harus melewati kognisi. Dalam proses kognisi ada tiga tahap : 
a. Kategorisasi 
b. Karakterisasi 
c. Koreksi 

3. Teori Atribusi Internal dan Eksternal dari Kelley 
Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk menetapkan apakah suatu perilaku beratribusi internal atau eksternal, yaitu : 
a. Konsensus 
Apakah suatu perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada pada situasi yang sama.Makin banyak yang melakukan makin tinggi konsensus dan semakin sedikit yang melakukanya,makin rendah konsensus 
b. Konsistensi 
Apakah pelaku bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama dalam situasi yang sama.Konsisten tinggi,kalau pelaku melakukan perilaku yang sama.Konsisten rendah kalau pelaku tidak melakukan perilaku yang sama dalam situasi yang sama tersebut. 
c. Distingsi atau kekhususan 
Apakah pelaku bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dalam situasi yang berbeda – beda.Distingsi tinggi kalau “ya”,distingsi rendah,kalau “tidak” 

Dari ketiga informasi diatas, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelley ada 3 atribusi, yaitu:
 • Atribusi Internal, dikatakan perilaku seseorang merupakan gambaran darikarakternya bila distinctivenessnya rendah, konsensusnya rendah, dan konsistensinya tinggi.
 • Atribusi Eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, consensus tinggi, dan konsistensinya juga tinggi.
 • Atribusi Internal-Eksternal, hal ini ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, consensus rendah, dan konsistensi tinggi. 

C. Kesalahan atribusi

- Fundamental Error : kencenderungan untuk mengindikasikan faktor internal sebagai penyebab perilaku. 
- Efek pelaku–pengamat (actor-observer effect) : kencenderungan untuk mengatribusikan perilaku kita sendiri sebagai situasional dan mengatribusikan perilaku orang lain pada faktor internal. 
- Self serving bias : kecenderungan untuk mengatribusikan hasil perilaku kita yang positif (misalnya keberhasilan studi) pada faktor internal (misalnya karena saya pandai dan gigih) tetapi mengatribusikan hasil – hasil negatif kita pada faktor eksternal (misalnya mata kuliah berat dan dosennya sukar di pahami). 

D. Bias dalam Atribusi 

Seringkali proses atribusi menjadi bias karena faktor pengamat sebagai ilmuwan naïf menggunakan konsep dirinya ke dalam proses tersebut dan juga karena faktor-faktor yang berhubungan dengan orientasi pengamatan. Beberapa bias yang dikenal dalam atribusi adalah : 
1. Bias Fundamental Attribution Dalam memberikan atribusi pada pelaku, pengamat sering terlalu banyak menekankan factor disposisi daripada factor situasi. Penekanan yang tidak seimbang dari dua sisi akan menyebabkan bias dalam kesimpulan. Di sisi lain focus pengamatan memang lebih banyak pada perilaku, tetapi bukan berarti factor situasional kurang berperan. Bias atribusi fundamental ini pertama kali dikemukakan oleh Lee Ross 
2. Bias Self-Serving Ada kecenderungan umum pada setiap orang untuk menghindari celaan karena kesalahannya. Sayangnya cara yang dipilih untuk menghindari keadaan itu sering tidak tepat, yaitu dengan menimpakan pada situasi di luar dirinya. Seorang yang gagal menjadi juara sering menimpakan kesalahan pada panitia atau arena. Sedangkan bila mendapat keberhasilan dia lebih menekankan bahwa hal itu adalah karena kemampuannya. 
 3. Efek Pelaku – Pengamat Bias ini terutama muncul pada hubungan antara perilaku dan pengamat yang sudah terjalin baik. Pertama kali, teori ini dikemukakan oleh Jones dan Nisbet. Pelaku akan menekankan pada faktor situasional. Sedangkan menurut pengamat, perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi faktor disposisi. Contohnya adalah hubungan antara seorang guru dengan siswa. Ketika suatu saat guru memberi nilai jelek pada hasil karangan murid, kedua orang ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menilai kegagalan. Bagi murid kegagalan tersebut disebabkan oleh kesibukannya, gangguan dari teman, ruang yang panas, atau yang lain. Sedangkan guru cenderung menimpakan keadaan ini kepada kondisi murid itu sendiri, misalnya kurang membaca bahan, kurang teliti, kurang ada kemauan dan sebagainya. 
 4. Menyalahkan diri sendiri Tidak jarang pula ditemui seorang yang terlalu menyalahkan diri sendiri, terutama bila mengalami kegagalan. Orang yang sering menyalahkan diri sendiri, akan sulit untuk secara objektif memberi penilaian, sehingga dalam proses atribusi juga sering menyebabkan kebiasaan. 
5. Hedonic Relevance Pengamat sering kurang objektif dalam memberikan penilaian terhadap peristiwa yang menyangkut dirinya. Apabila peristiwa itu menguntungkannya, maka akan menyebabkan penilaian lebih positif. Sebaliknya bila peristwa tersebut kurang menguntungkan dirinya, penilaian menjadi condong negatif. 
6. Bias Egosentris Sering dijumpai pula bahwa orang menilai dengan menggunakan dirinya sebagai referensi, atau beranggapan bahwa orang pada umumnya akan berbuat seperti dirinya. Apabila standar diri ini diterapkan dalam memberi atribusi, maka bias sulit untuk dihindarkan. 

Kesimpulan

Ada dua pandangan mengenai proses persepsi, yaitu : 
1. Persepsi sosial, berlangsung cepat dan otomatis tanpa banyak pertimbangan orang membuat kesimpulan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan penampilan fisik dan perhatian sekilas. 
2. Persepsi sosial, adalah sebuah proses yang kompleks, orang mengamati perilaku orang lain dengan teliti hingga di peroleh analisis secara lengkap terhadap person, situasional, dan behaviour. 

Sifat-Sifat Persepsi Persepsi bersifat dugaan karena merupakan loncatan langsung pada kesimpulan, karena data yang kita peroleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah utuh. Persepsi bersifat evaluatif karena mencakup unsur seleksi dan penilaian dalam merespon stimulasi. Persepsi bersifat kontekstual berarti koteks dalam mempersepsi stimulan sangat berpengaruh. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain : 
1. Objek yang dipersepsi 
2. Alat indera, termasuk syaraf dan pusat susunan syaraf. 
3. Perhatian. 

Atribusi sosial adalah suatu proses dimana seseorang mengidentifikasi penyebab dari tingkah laku orang lain, dan kemudian memperoleh pengetahuan mengenai trait-trait yang stabil mau pun faktor disposisi sebagai penyebab munculnya tingkah laku tersebut. Teori – Teori Atribusi Sarlito (1997) menjelaskan adanya beberapa teori yang berkaitan dengan atribusi. 
1. Corespondance Inference (Penyimpulan Terkait) 
2. Concious Attentional Resources (Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran) 
3. Teori Atribusi Internal dan Eksternal dari Kelley 

Kesalahan atribusi :
- Fundamental Error 
 - Efek pelaku–pengamat (actor-observer effect) 
- Self serving bias 

Bias dalam Atribusi : 
1. Bias Fundamental Attribution 
2. Bias Self-Serving 
3. Efek Pelaku – Pengamat 
4. Menyalahkan diri sendiri 
5. Hedonic Relevance 
6. Bias Egosentris 

DAFTAR PUSTAKA 
http://educationarticlesjournal.blogspot.com/2012/03/pengertian-persepsi-sosial.html www.psikomedia.com/article/...Sosial/.../Teori-teori-Atribusi-(Labelling)/ Berry, John W. 1999. Psikologi Lintas – Budaya. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama kk.mercubuana.ac.id/files/61011-5-660675373800.doc psi-sosial.blogspot.com/2011/10/persepsi-sosial.html‎ Sarwono, Sarlito Wirawan. 1995. Psikologi Lingkungan. Jakarta : PT Grasindo